Kuliah umum bertajuk “Prison Programming” menghadirkan narasumber Bapak Pujo Harinto, Bc.I.P., S.Sos., M.Si., yang memberikan pemaparan mendalam mengenai dinamika pelaksanaan sistem pemasyarakatan di Indonesia dalam perspektif psikologi forensik. Kegiatan yang diselenggarakan oleh Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara (UNTAR) secara daring melalui platform Zoom Meeting pada 11 Oktober 2025 ini menyoroti pentingnya proses pembinaan narapidana yang tidak hanya berfokus pada aspek hukum, tetapi juga mencakup dimensi kemanusiaan dan upaya reintegrasi sosial sebagai bagian dari penerapan psikologi forensik dalam sistem pemasyarakatan.
Bapak Pujo Harinto, Bc.I.P., S.Sos., M.Si. merupakan praktisi berpengalaman di bidang pemasyarakatan yang telah lama mengabdikan diri di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Saat ini, beliau menjabat sebagai Direktur Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, dengan rekam jejak profesional yang mencakup berbagai posisi strategis, seperti Kepala Lapas Anak Kelas IIA Palembang, Kepala Balai Pemasyarakatan Kelas I Surabaya, serta Kepala Divisi Pemasyarakatan di sejumlah kantor wilayah, termasuk Papua Barat, Maluku, dan Sumatera Utara. Dengan latar belakang pendidikan di bidang Psikologi dan Kesejahteraan Sosial ini, beliau dikenal aktif mendorong penerapan pendekatan yang lebih humanis dan berorientasi pada rehabilitasi serta reintegrasi sosial dalam sistem pemasyarakatan di Indonesia.
Kegiatan kuliah umum berlangsung selama kurang lebih tiga setengah jam, dimulai pukul 09.00 hingga sekitar 12.30 WIB, dan diikuti dengan antusias oleh sekitar 400 peserta, terdiri atas mahasiswa Fakultas Psikologi dan Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, serta dosen pengampu mata kuliah Forensik. Diskusi berjalan interaktif dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan peserta, mencerminkan minat besar terhadap penerapan psikologi forensik dalam sistem pemasyarakatan. Kegiatan ini menjadi sarana pembelajaran lintas disiplin yang memperkaya pemahaman akademik dan profesional mahasiswa dalam melihat hubungan antara hukum dan psikologi.
Dalam pemaparannya, Bapak Pujo menjelaskan bahwa sistem pemasyarakatan merupakan bagian penting dari subsistem peradilan pidana yang berperan menegakkan hukum dan menghormati hak asasi manusia berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Sistem ini memiliki arah, batas, dan metode yang jelas, yaitu memulihkan hubungan hidup, kehidupan, dan penghidupan narapidana melalui proses reintegrasi sosial. Reformulasi konsep pemasyarakatan menekankan peran lembaga pemasyarakatan bukan hanya sebagai tempat menjalani hukuman, melainkan juga sebagai pusat pembinaan kepribadian dan kemandirian. Tujuannya adalah membantu narapidana menyadari kesalahan, memperbaiki diri, melindungi hak-hak warga binaan, serta menjaga masyarakat dari potensi residivisme.
Dalam praktiknya, setiap narapidana berhak memperoleh pembinaan dan kesempatan integrasi melalui berbagai mekanisme seperti remisi, asimilasi, cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat. Pemberian hak-hak tersebut didasarkan pada perilaku, partisipasi dalam program pembinaan, serta hasil asesmen risiko. Proses pembinaan tidak hanya bersifat administratif, melainkan juga mencakup aspek psikologis dan sosial untuk mendukung narapidana agar mampu kembali menjadi individu yang produktif dan bertanggung jawab.
Litmas merupakan instrumen penting dalam seluruh tahapan peradilan, baik pra-adjudikasi (tahapan sebelum kasus masuk ke tahap pengadilan) , adjudikasi (proses pengambilan keputusan hukum oleh pengadilan), maupun pasca-adjudikasi (tahapan setelah proses peradilan selesai). Pada tahap pra-adjudikasi, Litmas atau Penelitian Kemasyarakatan digunakan untuk memberikan rekomendasi penangguhan penahanan atau alternatif pemidanaan. Pada tahap adjudikasi, digunakan sebagai dasar pembimbingan dan asesmen risiko. Pada tahap pasca-adjudikasi, Litmas menjadi pedoman bagi pembinaan lanjutan, integrasi sosial, hingga evaluasi kesiapan bebas bersyarat. Selain itu, Balai Pemasyarakatan (BAPAS) (lembaga dibawah Direktorat Jendral Pemasyarakatan, Kementerian Hukum Dan HAM) memiliki peran vital dalam pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan bagi klien. Pendampingan dilakukan sejak pra-adjudikasi untuk melindungi hak-hak klien, sementara pembimbingan berfokus pada peningkatan mental, spiritual, dan kemandirian. Pengawasan dilakukan untuk memastikan program berjalan sesuai rencana.
Tahapan pembinaan narapidana dibagi menjadi tiga, yakni tahap awal (pengenalan dan orientasi), tahap lanjutan (pengembangan keterampilan dan pembinaan kerja), serta tahap akhir (asimilasi dan persiapan reintegrasi sosial). Seluruh tahapan ini dinilai melalui Sistem Penilaian Pembinaan Narapidana (SPPN) yang memantau perkembangan perilaku dan mental warga binaan. Dalam konteks psikologi forensik, pembinaan tidak hanya menyentuh aspek fisik, tetapi juga emosional dan kognitif melalui pendekatan Prison Programming yang membantu narapidana memahami diri, mengatur emosi, dan menemukan kembali makna hidupnya
Setelah pemaparan materi yang mendalam, beberapa mahasiswa turut mengajukan pertanyaan kritis kepada narasumber, menunjukkan antusiasme dan refleksi mendalam terhadap sistem pemasyarakatan yang dibahas.
Salah satu mahasiswa mengajukan pertanyaan mengenai bagaimana sistem memastikan keadilan hukum jika seorang petugas Litmas atau pembimbing kemasyarakatan melakukan pelanggaran hingga harus dipenjara. Menanggapi hal tersebut, Bapak Pujo Harinto menjelaskan bahwa prinsip utama dalam sistem pemasyarakatan adalah persamaan di hadapan hukum, di mana setiap individu, termasuk petugas sekalipun, tetap tunduk pada proses hukum yang berlaku. Pengetahuan mendalam tentang mekanisme sistem tidak menjadi celah untuk menghindari tanggung jawab, melainkan menjadi ujian terhadap integritas dan profesionalisme individu tersebut. Proses penegakan hukum, menurutnya, dilaksanakan secara transparan dan terukur melalui mekanisme pengawasan internal maupun eksternal agar berjalan sesuai prosedur. Selain itu, sistem asesmen risiko dan penilaian pembinaan dalam pemasyarakatan juga harus melalui proses validasi objektif, tanpa dipengaruhi oleh faktor personal atau jabatan. Pengawasan berlapis dari Kemenkumham, Inspektorat Jenderal, hingga lembaga eksternal seperti Ombudsman menjadi jaminan bahwa kredibilitas sistem pemasyarakatan tetap terjaga.
Pertanyaan lain datang dari mahasiswa psikologi yang menyoroti pentingnya dimensi psikologis dalam program pembinaan narapidana, khususnya agar kegiatan yang dijalankan tidak sekadar bersifat formalitas. Menanggapi hal tersebut, narasumber menjelaskan bahwa assessment psikologis individual menjadi langkah awal yang sangat penting dalam proses pembinaan, karena setiap narapidana memiliki latar belakang, pengalaman hidup, dan dinamika kepribadian yang berbeda. Pendekatan yang digunakan harus bersifat personal dan berbasis psikologi forensik, yang memungkinkan petugas memahami perilaku narapidana tidak hanya dari tindakan yang tampak, tetapi juga dari pola pikir dan faktor psikologis yang melatarbelakanginya. Melalui pendekatan ini, proses pembinaan dipandang bukan sebagai bentuk pengendalian, melainkan sebagai upaya membantu narapidana untuk mengenali, meregulasi, dan mengarahkan dirinya menuju perubahan yang lebih adaptif dan positif.
Melalui kuliah umum ini, mahasiswa diajak memahami bahwa sistem pemasyarakatan bukan hanya urusan hukum, tetapi juga proses transformasi manusia. Penegakan hukum harus selalu berdampingan dengan nilai kemanusiaan, dan pembinaan harus berorientasi pada pemulihan, bukan pembalasan. Sebagaimana ditegaskan Bapak Pujo Harinto, inti dari pemasyarakatan adalah “mengembalikan manusia kepada kemanusiaannya”. Sebuah refleksi yang menegaskan bahwa keadilan sejati lahir bukan dari hukuman, melainkan dari kesempatan untuk berubah. Ke depan, diharapkan kegiatan serupa dapat terus dilaksanakan sebagai wadah kolaborasi antara akademisi dan praktisi untuk memperkuat pemahaman lintas disiplin mengenai psikologi forensik dan pemasyarakatan. Tindak lanjut dari acara ini juga dapat direncanakan dalam bentuk pengembangan kerja sama dan penelitian bersama antara Fakultas Psikologi dan instansi pemasyarakatan, guna memperdalam kajian tentang aspek psikologis dalam proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial masyarakat Indonesia.
Oleh: HUMAS DPM F.Psi. UNTAR