Film horor memiliki posisi istimewa dalam industri perfilman Indonesia. Genre ini diminati karena mampu menghadirkan ketegangan, kejutan, dan hiburan yang kuat. Namun, tidak sedikit film horor yang justru menampilkan kekerasan ekstrem, unsur vulgar, atau glorifikasi terhadap hal-hal mistis yang dapat menimbulkan dampak negatif pada masyarakat.
Hasil riset dari Stise et al. (2023) menemukan bahwa paparan film horor dapat meningkatkan paranormal belief masyarakat. Tim Program Kreativitas Mahasiswa-Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara menemukan bahwa semakin tinggi paranormal belief yang dimiliki, maka semakin rendah persepsi terhadap sains.
Untuk itu, perlu adanya standar atau pedoman film horor yang tidak hanya menghibur, tetapi juga mendidik, beretika, dan sesuai dengan nilai-nilai sosial budaya Indonesia. Tim PKM-RSH Fakultas Psikologi UNTAR merumuskan 10 standar film horor bermutu sebagai rekomendasi bagi Lembaga Sensor Film, Pusat Pengembangan Film, Kementerian Kebudayaan, dan masyarakat luas.
10 Standar Film Horor Bermutu sebagai Rekomendasi Kebijakan (Policy Brief)
1. Menyatakan informasi mengenai klasifikasi golongan usia. Empat klasifikasi golongan usia:
– SU: Semua umur
– R13: 13 tahun atau lebih
– D17: 17 tahun atau lebih
– D21: 21 tahun atau lebih
2. Mengandung setidaknya tiga informasi edukatif/pesan moral. Informasi edukatif/pesan moral yang dimaksud:
– Kepatuhan terhadap norma/aturan sosial;
– Saling membantu untuk mencapai tujuan yang baik;
– Sopan santun atau sikap rendah hati;
– Keceriaan dan/atau humor;
– Kreativitas/kemampuan untuk menyelesaikan masalah;
– Kebersamaan;
– Usaha dan kerja keras atau bertanggung jawab terhadap perbuatan;
– Kesetiaan terhadap nilai-nilai keagamaan;
– Kejujuran dan keberanian;
– Kesabaran/toleransi;
– Kesederhanaan/tidak materialistis; atau
– Ketenangan ketika menghadapi masalah.
3. Memiliki sinopsis yang mudah diakses dan bersifat informatif dalam:
– Menghadirkan latar belakang sejarah dan budaya;
– Mengangkat dan mengeksplorasi isu sosial;
– Membahas/mengkritisi isu sosial berdasarkan pesan moral tertentu; atau
– Meningkatkan kesadaran psikologis, sosial, budaya, agama, politik, sejarah, serta sains dan teknologi.
4. Bersifat menghibur.
– Menampilkan visualisasi/efek yang menakjubkan dan menegangkan;
– Menyajikan alur film yang mudah dipahami oleh penonton; atau
– Menampilkan adegan yang minim representasi simbolik (adegan yang tidak mengandung makna tertentu atau membingungkan penonton).
5. Menjunjung nilai etika sosial dengan tidak merendahkan Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan (SARA) tertentu.
6. Menghindari adegan kekerasan yang menimbulkan trauma. Adegan yang dimaksud:
– Tindakan agresif untuk melukai orang lain, seperti pemukulan secara brutal, penyiksaan, penusukan, dan pengrusakan tubuh;
– Ancaman/intimidasi/perilaku sadis kepada orang lain yang dapat membangkitkan rasa sakit, seperti pemotongan dan pengeluaran bagian tubuh (mutilasi) yang disertai dengan proses pendarahan berlebih/tidak wajar; dan
– Adegan melukai diri sendiri, seperti percobaan bunuh diri, yang divisualisasikan secara ekstrem sehingga dapat menimbulkan rasa takut mendalam atau trauma psikologis tertentu.
7. Tidak menampilkan aktivitas atau adegan seksual yang bersifat tabu (vulgar) secara eksplisit, baik dalam bentuk visual maupun percakapan.
8. Tidak memicu reaksi/efek fisiologis yang ekstrem. Reaksi/efek fisiologis yang dimaksud, yaitu:
– Ketegangan/teriakan yang menimbulkan percepatan detak jantung secara tiba-tiba, serta hiperventilasi (sesak nafas);
Rasa jijik dan mual pada perut yang menimbulkan keinginan untuk muntah; atau
Nyeri empatik yang timbul karena visualisasi ekstrem, seperti tubuh tertusuk benda tajam, pendarahan berlebihan, dan organ tubuh yang rusak/keluar.
9. Memberikan transparansi/kejujuran mengenai asal-usul film: apakah adegan yang ditampilkan dalam film horor adalah fiksi atau dramatisasi dari kisah nyata. Transparansi dibutuhkan untuk meminimalisasi pembentukan persepsi yang keliru terhadap suatu adegan.
10. Menghindari glorifikasi terhadap unsur paranormal secara berlebihan sehingga mengakibatkan penonton percaya sepenuhnya pada keunggulan/kekuatan di luar jangkauan manusia (seperti ilmu sihir, takhayul, dan sebagainya).